
Intro
Tahun 2025 menandai peringatan ke-80 tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki, salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah manusia. Dunia kembali menatap ke belakang, merenungkan dampak mengerikan senjata nuklir dan pelajaran yang masih relevan di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global.
Peringatan ini dihadiri oleh pemimpin dunia, penyintas bom atom (hibakusha), aktivis anti-nuklir, dan akademisi dari seluruh penjuru dunia. Mereka berkumpul untuk mengenang korban yang tewas dan menyuarakan kembali seruan untuk pelucutan senjata nuklir demi mencegah tragedi serupa terulang kembali.
Artikel ini akan mengulas sejarah singkat tragedi tersebut, refleksi global yang lahir darinya, serta bagaimana isu senjata nuklir masih menjadi tantangan besar bagi dunia modern.
Tragedi Bom Atom: Sejarah Singkat
Pada 6 Agustus 1945, pesawat B-29 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom berkode “Little Boy” di atas Hiroshima, menewaskan sekitar 140.000 orang dalam waktu beberapa bulan. Tiga hari kemudian, 9 Agustus 1945, bom kedua “Fat Man” menghantam Nagasaki, menewaskan sekitar 74.000 orang.
Serangan ini mengakhiri Perang Dunia II setelah Jepang menyerah, tetapi juga meninggalkan luka mendalam yang masih dirasakan hingga kini. Selain korban jiwa, banyak yang menderita akibat radiasi, menyebabkan penyakit kronis dan kelainan genetik yang menurun ke generasi berikutnya.
Peristiwa ini menjadi simbol kejamnya perang modern dan memunculkan gerakan global untuk melarang penggunaan senjata nuklir.
Peringatan 80 Tahun: Upacara dan Simbol Perdamaian
Upacara peringatan ke-80 digelar di Peace Memorial Park Hiroshima dan Peace Park Nagasaki, dihadiri oleh perwakilan dari lebih 100 negara. Bel berbunyi, bunga diletakkan di monumen perdamaian, dan doa bersama dilakukan untuk mengenang korban.
Perdana Menteri Jepang menyampaikan pidato yang menegaskan kembali komitmen negara tersebut pada prinsip Three Non-Nuclear Principles: tidak memiliki, tidak memproduksi, dan tidak mengizinkan penempatan senjata nuklir di wilayahnya.
UN Secretary-General dalam pidatonya menyatakan bahwa dunia saat ini menghadapi risiko nuklir yang bahkan lebih tinggi dibanding era Perang Dingin, sehingga pelajaran dari Hiroshima dan Nagasaki menjadi semakin relevan.
Hibakusha: Suara Penyintas
Hibakusha, atau penyintas bom atom, menjadi pusat perhatian dalam peringatan ini. Meskipun jumlah mereka semakin berkurang seiring waktu, suara mereka tetap kuat dalam menyuarakan pesan perdamaian.
Salah satu penyintas, Keiko Ogura, yang saat ini berusia 88 tahun, berkata:
“Kami yang selamat bukan untuk hidup dalam kebencian, tetapi untuk memastikan tidak ada orang lain yang mengalami neraka seperti ini.”
Kesaksian mereka menjadi pengingat kuat tentang penderitaan manusia yang ditimbulkan senjata nuklir dan menjadi dasar moral bagi gerakan global melawan senjata pemusnah massal.
Isu Nuklir di Dunia Modern
Delapan dekade setelah tragedi tersebut, dunia masih menghadapi ancaman nuklir. Negara-negara seperti Rusia, Amerika Serikat, China, India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel memiliki atau mengembangkan persenjataan nuklir.
Situasi semakin kompleks dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, terutama terkait konflik di Eropa Timur dan Asia Timur. Ancaman penggunaan senjata nuklir sebagai alat tekanan politik kembali muncul dalam wacana publik, memicu kekhawatiran akan terjadinya eskalasi berbahaya.
Banyak analis menilai bahwa meski jumlah senjata nuklir global telah berkurang dibanding masa Perang Dingin, risiko penggunaannya tetap tinggi karena kebijakan nuklir yang lebih fleksibel di beberapa negara.
Gerakan Anti-Nuklir dan Traktat Internasional
Sejak tragedi Hiroshima dan Nagasaki, gerakan anti-nuklir terus berkembang. Organisasi seperti International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) bahkan menerima Hadiah Nobel Perdamaian 2017 atas kampanyenya mendorong perjanjian pelarangan senjata nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons – TPNW).
Jepang sendiri menghadapi dilema: sebagai negara korban bom atom, banyak yang berharap Jepang menjadi pemimpin dalam upaya pelucutan senjata nuklir. Namun, posisinya sebagai sekutu AS dalam payung nuklir sering memunculkan perdebatan domestik.
Dalam peringatan kali ini, banyak pihak menyerukan agar negara-negara yang belum meratifikasi TPNW segera melakukannya, sebagai langkah nyata menuju dunia bebas senjata nuklir.
Perspektif Akademisi dan Sejarahwan
Para sejarawan menekankan bahwa tragedi Hiroshima dan Nagasaki tidak boleh dilihat hanya sebagai bagian dari sejarah Perang Dunia II, tetapi juga sebagai titik balik peradaban manusia. Teknologi yang digunakan dalam perang ini menandai era baru di mana manusia memiliki kemampuan untuk menghancurkan diri sendiri dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Akademisi juga menyoroti pentingnya pendidikan sejarah yang jujur dan komprehensif, agar generasi muda memahami dampak etis, politik, dan kemanusiaan dari senjata nuklir. Banyak sekolah di Jepang dan negara lain kini memasukkan studi tentang tragedi bom atom dalam kurikulum mereka.
Peringatan 80 tahun ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat pendidikan sejarah sebagai sarana membangun kesadaran global tentang perdamaian.
Dampak Budaya dan Seni
Tragedi Hiroshima dan Nagasaki telah menginspirasi berbagai karya seni, mulai dari film, musik, hingga literatur. Karya seperti film “Hiroshima Mon Amour” dan novel “Black Rain” menggambarkan penderitaan manusia sekaligus harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Dalam peringatan tahun ini, pameran seni bertema perdamaian diadakan di Hiroshima Museum of Contemporary Art, menampilkan karya seniman dari seluruh dunia yang merefleksikan dampak nuklir terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
Budaya populer pun turut mengambil inspirasi dari tragedi ini, meskipun sering kali menuai kontroversi jika dinilai tidak sensitif terhadap korban. Ini menunjukkan betapa kuatnya jejak tragedi ini dalam kesadaran kolektif global.
Penutup
Peringatan 80 tahun bom atom Hiroshima dan Nagasaki bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga peringatan akan tanggung jawab manusia untuk mencegah tragedi serupa. Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan ancaman nuklir yang masih nyata, pelajaran dari sejarah menjadi sangat relevan.
Dunia diingatkan kembali akan pentingnya diplomasi, perdamaian, dan pelucutan senjata sebagai jalan menuju masa depan yang lebih aman. Seperti kata salah satu hibakusha:
“Kami tidak ingin balas dendam, kami hanya ingin memastikan hal ini tidak terjadi lagi, di mana pun di dunia.”