
RUU Kebebasan Digital 2025: Kontroversi Baru di Tengah Panasnya Politik
Tahun 2025 belum reda dari isu politik besar, kini publik dihadapkan pada polemik RUU Kebebasan Digital 2025. Pemerintah dan DPR mengklaim RUU ini dibutuhkan untuk melindungi masyarakat dari hoaks, ujaran kebencian, dan kejahatan siber. Namun, banyak aktivis, mahasiswa, dan pakar hukum menilai RUU ini justru membuka peluang pembatasan kebebasan berekspresi.
Google Trends Indonesia pada 4 September 2025 mencatat kata kunci “RUU Kebebasan Digital” melonjak. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sangat peduli pada nasib ruang digital, terutama setelah gelombang demo 17+8 Demands mahasiswa yang sebagian besar disuarakan lewat media sosial.
◆ Latar Belakang Lahirnya RUU Kebebasan Digital
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi penyusunan RUU ini:
-
Ledakan Konten Hoaks: Sejak pandemi, hoaks politik dan kesehatan semakin sulit dikendalikan.
-
Kejahatan Siber: Kasus penipuan online, kebocoran data, dan serangan ransomware meningkat.
-
Tekanan Politik: Pemerintah ingin menata ruang digital yang dianggap “liar” dan rawan memicu konflik sosial.
-
Global Trend: Banyak negara mulai memperketat regulasi ruang digital, dari Eropa dengan GDPR hingga China dengan aturan internet ketat.
Dengan alasan ini, pemerintah berargumen bahwa RUU Kebebasan Digital diperlukan.
◆ Isi Kontroversial RUU Kebebasan Digital 2025
Draf RUU yang beredar memiliki beberapa pasal kontroversial:
-
Kewajiban Verifikasi Akun: Semua akun media sosial harus diverifikasi dengan KTP atau paspor.
-
Kontrol Konten: Pemerintah bisa memblokir konten yang dianggap mengandung hoaks atau “mengganggu stabilitas nasional.”
-
Sanksi Berat: Pengguna yang menyebarkan konten terlarang bisa dipidana hingga 5 tahun penjara.
-
Pengawasan Platform: Semua platform digital wajib memberikan data pengguna jika diminta aparat.
Poin-poin ini memicu ketakutan bahwa RUU justru akan dipakai untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
◆ Suara Pro terhadap RUU Kebebasan Digital
Pendukung RUU menilai regulasi ini penting demi keamanan digital nasional. Argumen mereka:
-
Melindungi Anak Muda: Ruang digital penuh konten negatif, perlu pengawasan.
-
Menekan Hoaks: Informasi palsu bisa memicu konflik besar.
-
Keamanan Data: RUU bisa mewajibkan perusahaan asing lebih transparan dalam mengelola data pengguna Indonesia.
-
Kedaulatan Digital: Indonesia tidak boleh tergantung pada aturan platform asing.
Bagi pendukungnya, RUU ini bukan pembatasan, melainkan perlindungan.
◆ Suara Kontra terhadap RUU Kebebasan Digital
Aktivis, mahasiswa, dan LSM menilai RUU ini berbahaya. Kritik utama:
-
Ancaman Kebebasan Berekspresi: Pasal multitafsir bisa dipakai untuk membungkam kritik.
-
Over-Surveillance: Pemerintah bisa mengawasi warga secara berlebihan.
-
Pelemahan Demokrasi: RUU bisa dipakai untuk mengontrol opini publik, terutama jelang pemilu.
-
Diskriminatif: Akses internet bisa jadi terbatas bagi kelompok tertentu.
Tidak heran, demo mahasiswa kembali membawa isu ini sebagai bagian dari 17+8 Demands jilid II.
◆ Reaksi Publik dan Media Sosial
Media sosial menjadi medan utama perdebatan.
-
Twitter/X: Tagar #TolakRUUKebebasanDigital trending selama berhari-hari.
-
TikTok: penuh dengan video edukasi soal bahaya pasal multitafsir.
-
Instagram: influencer membagikan infografis singkat untuk masyarakat awam.
Publik digital melihat RUU ini sebagai “pisau bermata dua” yang bisa melindungi sekaligus membahayakan demokrasi.
◆ Dampak Politik RUU Kebebasan Digital
Isu RUU ini membawa dampak besar:
-
Hubungan Rakyat vs DPR Makin Panas: Setelah isu tunjangan DPR, publik makin kritis.
-
Gerakan Mahasiswa Menguat: RUU ini jadi bahan bakar baru demo.
-
Oposisi Lebih Vokal: Partai oposisi menggunakan isu ini untuk menyerang pemerintah.
-
Isu Global: Indonesia jadi sorotan dunia soal kebebasan digital.
RUU ini berpotensi menjadi isu kampanye panas menjelang Pemilu 2029.
◆ Perbandingan dengan Negara Lain
-
Eropa (GDPR): Fokus pada perlindungan data, bukan pembatasan ekspresi.
-
China: Internet sangat dikontrol, banyak platform global dilarang.
-
Amerika Serikat: Relatif bebas, tapi perusahaan diwajibkan transparan soal data.
Indonesia berada di persimpangan: apakah lebih condong ke model Eropa yang demokratis atau ke model China yang represif?
◆ Masa Depan Kebebasan Digital Indonesia
RUU Kebebasan Digital 2025 akan sangat menentukan arah demokrasi Indonesia di era digital. Beberapa kemungkinan skenario:
-
Jika Disahkan: Indonesia bisa memiliki ruang digital lebih aman, tapi berisiko membatasi kritik.
-
Jika Ditolak: Publik tetap bebas berekspresi, tapi hoaks dan kejahatan digital tetap jadi masalah.
-
Jika Direvisi: Ada peluang lahir regulasi yang seimbang antara perlindungan dan kebebasan.
Apapun hasilnya, masa depan ruang digital Indonesia kini dipertaruhkan.
Kesimpulan: Perlindungan atau Ancaman?
RUU Kebebasan Digital 2025 memperlihatkan dilema klasik: bagaimana menjaga ruang digital aman tanpa merusak kebebasan. Bagi pemerintah, RUU adalah kebutuhan. Bagi publik, RUU adalah ancaman.
Penutup
Demokrasi digital bukan hanya soal teknologi, tetapi soal kepercayaan. Indonesia harus hati-hati agar regulasi ini tidak menjadi alat represi, melainkan jembatan menuju ruang digital yang sehat, adil, dan demokratis.